Oleh Reno Mardhotillah
(Mahasiswa Magister Administrasi Publik FISIP Universitas Sriwijaya)
Meski sudah berlangsung lebih dari satu tahun, pemerintah masih menghadapi tantangan komunikasi dan penegakan aturan dalam penanganan pandemi. Padahal, keduanya dinilai memiliki peran strategis untuk melawan pandemi itu sendiri.
Salah satu masalah komunikasi yang belum selesai adalah soal apa yang sebenarnya diinginkan pemerintah, terkait aktivitas rakyatnya. Di satu sisi, masyarakat diminta untuk tinggal di rumah, jaga jarak, dan tidak berkerumun, tetapi pasar dan pusat perbelanjaan tetap buka, di masa sebelum PPKM Darurat lalu.
Kuncinya adalah komunikasi kebijakan pemerintah yang tidak ambigu, tidak mendua dan tidak membingungkan. Setiap kebijakan harus memiliki pesan yang tunggal dan jelas.
Butuh Kejelasan Komando
Dalam diskusi lain, yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, persoalan komunikasi dan penegakan aturan juga dibicarakan. Salah satunya dibahas oleh Agus Samsudin, Ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC).
Salah satu yang menimbulkan masalah komunikasi, kata Agus, adalah ketidakjelasan siapa yang memegang peran tertinggi dalam penanganan pandemi. Awal-awalnya BNPB memiliki peran dominan, setelah itu ada Komite Penanganan COVID-2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Saat ini, terutama terkait PPKM Darurat, komando pindah ke Menkomarves.
“Menurut saya, yang paling penting itu satu. Orang jangan pergi dulu sekarang, jangan ngumpul dulu. Tinggal di rumah. Sebenarnya bahasanya kan cuma itu saja. Jangan kemudian dibikin istilah-istilah baru yang sebenarnya secara esensi tidak esensial banget,” tambahnya.
Kondisi menjadi tidak cukup baik, karena di satu pihak adanya inkonsistensi pemerintah, dan di sisi seberangnya, kata Agus, ada kebebalan masyarakat. Mayoritas tidak mau belajar dari apa yang terjadi, tetapi baru mau berubah setelah COVID-19 berdampak pada dirinya sendiri.
Dengan dua UU yang ada, pemerintah sebenarnya bisa memilih. Dalam kaitannya dengan hukuman misalnya, UU Wabah menetapkan denda Rp 1 juta untuk sebuah pelanggaran, sementara UU Karantina Kesehatan menyebut angka Rp 5 juta. Melihat kondisi ekonomi yang sulit, Trisno merekomendasikan penggunaan UU Wabah, karena bahkan Rp 1 juta adalah jumlah yang besar bagi mayoritas masyarakat saat ini.